Dulu aku sering sekali tidur di rumah Kakung, rumah khas Jawa dengan ruang tamu yang lebar. Lantainya bukan keramik tapi plester licin yang mengkilap alami, saking rajinnya Uti dan Budhe mengepelnya menggunakan ampas kelapa. Meski aku selalu minta diantar pulang sebelum subuh, Kakung tak menolaknya. Dipanggulnya aku kecil di bahunya, berjalan beriringan dengan Uti saat fajar pun belum menyingsing.
Rumah memang tidak selalu berbentuk bangunan. Ia adalah kenyamanan dan rasa aman. Kakung sudah menjadi rumah untukku masa itu. Maka kehilangannya saat usiaku 8 tahun adalah moment yang berat untuk kulalui. Bayangannya duduk bersila di belakang rekal melantunkan ayat suci di mihrab sederhana rumah kakung meninggalkan kesan bagaimana dia mencintai TuhanNya.
Lama tak bersua, tetiba rindu itu menyusup. Menjentikan jari ini semalam, walau tak tuntas karena kantuk yang tak bisa kutahan. Sepuluh menit saja menulis mengingatkanku padanya, al-fatihah untukmu Kakung. Semoga Allah sinari kuburmu dengan cahaya yang terang, semoga tempat terbaik menjadi tempat penantian yang indah sebelum kita berjumpa di padang masyarNya.
0 komentar:
Posting Komentar