Sabtu, 13 September 2025

Rumah

Rumah, memikirkannya membuatku teringat pada laki-laki paling tampan yang mencintaiku dengan segenap hatinya. Rambutnya memang telah memutih namun garis wajah tegas dengan hidung mancung jelas-jelas menunjukkan betapa gagahnya dia walau sudah tidak muda. Dia tak pernah menolak apapun pintaku. Pelukannya selalu hangat, senyumnya sumringah saat menemaniku. Bukan sekali kudapati jejak perang di kepalanya saat mencabut uban demi uang jajan. Aku masih duduk di taman kanak-kanak masa itu. Ya, dia adalah Kakungku yang tampan, seorang veteran yang menepi dari hiruk pikuk dan menemani cucunya bermain dengan suka hati. Berkatnya aku merasakan masa kecil yang bahagia. 
Dulu aku sering sekali tidur di rumah Kakung, rumah khas Jawa dengan ruang tamu yang lebar. Lantainya bukan keramik tapi plester licin yang mengkilap alami, saking rajinnya Uti dan Budhe mengepelnya menggunakan ampas kelapa. Meski aku selalu minta diantar pulang sebelum subuh, Kakung tak menolaknya. Dipanggulnya aku kecil di bahunya, berjalan beriringan dengan Uti saat fajar pun belum menyingsing. 
Rumah memang tidak selalu berbentuk bangunan. Ia adalah kenyamanan dan rasa aman. Kakung sudah menjadi rumah untukku masa itu. Maka kehilangannya saat usiaku 8 tahun adalah moment yang berat untuk kulalui. Bayangannya duduk bersila di belakang rekal melantunkan ayat suci di mihrab sederhana rumah kakung meninggalkan kesan bagaimana dia mencintai TuhanNya. 
Lama tak bersua, tetiba rindu itu menyusup. Menjentikan jari ini semalam, walau tak tuntas karena kantuk yang tak bisa kutahan. Sepuluh menit saja menulis mengingatkanku padanya, al-fatihah untukmu Kakung. Semoga Allah sinari kuburmu dengan cahaya yang terang, semoga tempat terbaik menjadi tempat penantian yang indah sebelum kita berjumpa di padang masyarNya. 





0 komentar:

Posting Komentar