Seorang pelajar asal Cilacap melaporkan hasil penelitiannya dengan judul "Kandungan Zat Awet Muda dalam Gedhang". Laporan ini kemudian dipublikasikan secara nasional, dan dibaca oleh masyarakat Jawa Barat. Apa yang kemudian terjadi?
Jika mereka kemudian tidak membaca secara lengkap penelitian tersebut, dan langsung praktek berdasarkan judul, maka mereka akan mengonsumsi buah pepaya. Mengapa? karena "gedhang" dalam bahasa sunda berarti Pepaya.
Tentu ini berbeda dengan maksud si peneliti, sebagai orang jawa "gedhang" merupakan nama lokal dari pisang sehingga obyek penelitian yang sesungguhnya adalah pisang bukan pepaya.
Ini hanya gambaran sederhana bahwa penggunaan nama lokal sangat tidak memungkinkan dalam dunia penelitian. Tidak hanya antar suku dalam satu negara, perbedaan nama lokal juga antar negara di dunia. Artinya dibutuhkan suatu sistem penamaan yang berlaku secara international, sehingga tidak terjadi kesalahan pengenalan obyek karena perbedaan nama lokalnya.
Nah, sistem penamaan yang dimaksud adalah sistem penamaan ilmiah yang dikenal dengan "binomial nomenclatur" yang dicetuskan oleh Carolus Linnaeus. Sistem penamaan ini menggunakan bahasa latin yang merupakan bahasa yang tidak mengalami perubahan tata bahasa atau kosa kata dan dimengerti oleh ilmuwan pada masa itu.
Nama ilmiah terdiri dari dua kata, kata pertama sebagai penunjuk nama genus sedang nama kedua sebagai penunjuk spesies. Adapun aturannya adalah sebagai berikut:- Nama deskriptor/pemberi deskripsi pertama dicantumkan dibelakang nama spesies cukup singkatan saja, dengan aturan penulisan : diawali kapital, tidak ikut dimiringkan pada penulisan huruf cetak atau tidak digaris bawah pada teknik tulis tangan. Contohnya: Durio zibethinus Mur
- Bila tidak diketahui atau diperlukan penunjukkan jenis (spesies) maka nama spesiesnya (setelah genus) ditulis sp.(untuk hewan) dan spec. (untuk tumbuhan) dengan huruf kecil dan tidak dicetak miring, digaris bawah atau dicetak tebal.
0 komentar:
Posting Komentar